Minggu, 22 Mei 2016

Apakah kitab suci (Alkitab) boleh ditafsirkan secara bebas dan tanpa batas ?

          Kekristenan membuat suatu klaim yang sangat penting mengenai kitab suci kristen (Alkitab) yaitu bahwa kitab suci kristen itu adalah firman Allah. Tetapi ada masalah besar muncul ketika banyak orang berusaha menafsirkan Alkitab secara tanpa batas, masing-masing orang bisa memiliki pengertian yang berbeda-beda satu sama lain dalam berbagai topik yang ada dalam Alkitab. Tidak heran jika saat ini ada banyak sekali aliran dan denominasi gereja di seluruh dunia, semuanya itu disebabkan karena para pemimpin gereja berpegang pada penafsiran pribadi yang berbeda-beda. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan kebingungan di antara gereja Tuhan sendiri, semua denominasi menganggap bahwa pandangan mereka masing-masing yang paling benar. Jadi bagaimana seharusnya cara memahami kitab suci dengan benar?

          Jika kekristenan membuat klaim bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, maka jelas Alkitab tidak boleh ditafsirkan secara tanpa batas. Tidak mungkin Tuhan berfirman tanpa maksud dan tujuan yang jelas, akibatnya setiap orang tidak boleh menafsirkan Alkitab sesuai dengan keinginan mereka masing-masing.
          
          Alkitab kristen bukanlah satu kitab dengan satu penulis dari awal hingga akhir, tetapi merupakan gabungan dari 66 kitab (39 kitab perjanjian lama dan 27 kitab perjanjian baru), masing-masing kitab memiliki bentuk penulisan yang berbeda-beda (sejarah, puisi, nubuat, surat, dan lain-lain) dan berasal dari masa dan jaman yang berbeda-beda dalam rentang 1500 tahun. Tidak hanya itu, Alkitab juga ditulis oleh lebih dari 40 orang yang berbeda masa maupun latar belakangnya, tetapi semuanya itu memiliki hubungan satu sama lain sehingga terbentuk suatu kitab yang lengkap dari awal hingga akhir. Itulah sebabnya Alkitab kristen sangatlah unik dan hanya dapat dipahami jika kita menafsirkannya dengan batasan-batasan yang sudah ada secara alami di dalam setiap kitab. Jadi ada batasan atau aturan apa saja yang harus kita pegang untuk memahami kitab suci?

          Yang pertama, kitab suci sudah seharusnya ditafsirkan sesuai dengan maksud dan tujuan penulisnya ketika ia menulis kitab itu (John 20:30-31 ; Acts 1:1-3). Untuk mengetahuinya kita harus teliti dan membaca masing-masing kitab berulang kali, jika kita sungguh-sungguh memperhatikan, maka kita juga pasti akan mengetahui dan memahami tujuan si penulisnya, jadi jangan malas membaca Alkitab.

          Yang kedua, kitab suci sudah seharusnya ditafsirkan sesuai dengan konteksnya, ada banyak sekali konteks dalam satu kitab (2 Pet 1:20-21). Belum tentu satu kitab ditulis secara kronologis (berurutan) dari awal hingga akhir, seringkali ada banyak konteks berbeda-beda, antara lain konteks waktu, topik, kasus, kejadian, tokoh, tujuan dan lain sebagainya. Jadi jelas bahwa kita tidak boleh mengambil satu ayat tertentu lepas dari konteksnya dan langsung menfasirkannya seolah-olah itu firman Tuhan.

          Yang ketiga, kitab suci seharusnya ditafsirkan sesuai dan selaras dengan prinsip-prinsip kebenaran (John 17:17). Beberapa prinsip kebenaran antara lain: dapat dibuktikan (Psa 119:140 ; 1 Thess 5:21), tidak ada kontradiksi satu sama lain (1 Cor 3:4-9), dapat diterima dengan akal sehat (2 Tim 4:3-4), berlaku universal (Mark 16:15 ; Matt 24:14), bersifat tetap atau tidak berubah-ubah (Heb 13:8), memberi kemerdekaan (John 8:32), dapat menjadi tolok ukur antara yang baik dan yang jahat (Heb 5:13-14).

         Yang keempat, kitab suci seharusnya ditafsirkan berdasarkan tulisan literalnya (tulisan apa adanya), jadi jangan memulai penafsiran berdasarkan catatan, asumsi, prasangka, perkiraan, ataupun hal-hal lain diluar tulisan literal Alkitab (Rev 22:18-19). Ada banyak pengajaran yang hanya didasari oleh asumsi, aturan, imajinasi dan pendapat manusia, hal ini sangat beresiko menyimpang dari kebenaran.

           Yang kelima, kitab suci seharusnya ditafsirkan secara sederhana dan tidak rumit, sebab kitab suci itu ditulis dengan tujuan agar dapat dimengerti oleh semua orang (Mark 16:15-16), bahkan termasuk juga anak kecil (Matt 18:1-6). Jadi jika ada pilihan dalam penafsiran, pilihlah penafsiran yang sederhana dan jangan yang rumit atau sukar dipahami. Jika ada penafsiran yang rumit, yang hanya dapat dimengerti dan diterima oleh sedikit orang saja, maka hal itu biasanya tidak tepat.

          Yang keenam, tafsiran kitab suci yang benar seharusnya memberikan kemerdekaan, kelegaan, terang, kekuatan, penghiburan, harapan, didikan, nasehat, hikmat, pengetahuan, solusi dan juga membangkitkan iman (Psa 119:130 ; 2 Tim 3:15-16 ; Rom 10:17). Jika ada penafsiran yang bersifat melemahkan, merusak dan menghancurkan, maka jelas penafsiran itu tidak benar.

          Yang ketujuh, tafsiran kitab suci tidak boleh menghasilkan pengajaran yang mencampurkan ajaran perjanjian lama dengan perjanjian baru (1 Cor 11:23-25 ; Luke 16:16). Saat ini kita hidup di masa perjanjian baru, maka kita seharusnya juga menjalani kehidupan dengan cara pandang perjanjian baru. Sebaliknya gereja Tuhan yang terus mempraktekkan cara hidup perjanjian lama pasti telah mendapatkan ajaran dan penafsiran yang salah dari Alkitab. (baca artikel "Apa yang dimaksud dengan perjanjian baru?")